Sang Murabbi – dalam mengali makna cinta pada orang tua

Ribuan langkah kau tapaki | Pelosok negri kau sambangi | Tanpa kenal lelah jemu | Sampaikan firman Tuhanmu | Tanpa kenal lelah jemu  – Sang Murabbi – Izzatul Islam

DALAM menit-menit pertama, bertubi-tubi hikmah yang dikirimkan dalam film Sang Murabbi(3). Tak seperti film kebanyakan sekarang yang sungguh begitu banyak mengumbar humor yang mencela fisik orang lain dan aurat digembar gemborkan tapi minim aspek intisari hikmah didalamnya. Sang Murabbi, film yang diangkat dari kehidupan seorang ustadz Rahmat Abdullah, dengan durasi 93 menit ini saja menyimpan berbagai hikmah laksana buku-buku yang tersusun diperpustakaan.

Dari bagian film tesebut ada hal yang menarik untuk dibawah ketengah pembicaraan. Pada screen bagian awal, kita akan melihat bagaimana Ustadz Rahmat Abdullah sungguh besar keinginannya untuk pergi berangkat ke Mesir guna menimba ilmu. Suatu kali beliau mendapat kesempatan untuk belajar ke sana.

Ketika diberitahukan gurunya, Rahmat Abdulllah mengucapkan rasa puji dan syukurnya kepada Allah SWT atas kesempatan untuk bisa studi ke Mesir

Akan tetapi, karena sang Ibunda berat melepaskannya pergi jauh merantau belajar ke Mesir, ia pun mengurungkan hasratnya yang mengebu-gebu itu.

“lagian kalo lo pergi jauh, ntar ibuk kangen bagaimana dong?” kata Ibunda Rahmat Abdullah berat hati melepaskan anaknya.
Mendengarkan curhatan ibundanya yang susah sekali melepaskan.
Mendengarkan nasehat gurunya, meski tidak melanjutkan studi ke Mesir, janganlah meyerah karena dimanapun kita berada kita merupakan dai yang siap meyebarkan benih-benih kejayaan Islam.

Seringkali kita bagaikan ikan dilautan yang mencari air tanpa sadar sekelilingnya adalah air. Kita mencari bagaimana bentuk cinta itu padahal sekeliling kita telah dihiasi oleh cinta itu sendiri. Salah satunya cinta dari kedua orang tua kita yang aliran cinta tak henti bagai mentari yang menyinari cahaya.

Mungkinkah seseorang berbicara dan mengekspesikan cinta yang suci sedang ia tidak peduli akan ibu bapaknya yang telah memberikan cinta setulus hati tanpa pamrih? Tentu saja itu mustahil. Sangatlah penting bagi seorang mukmin agar setiap tindakannya mendapat restu dari ibu bapak. Menjadi nilai ibadah di dalamnya dikarenakan doa restu ibu bapaknya yang menyertai. Apapun itu pilihan yang kita lakukkan hendaklah mendapatkan restu dari kedua orang tua. Sebuah jihad mempunyai keutamaan yang paling besar namun Rasul menyuruh seseorang untuk meminta restu orang tua sebelum menunaikan jihad itu sendiri.

Jahimah mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasul Allah, aku ingin ikut berperang dan aku datang meminta masehat kepadamu.” Rasulullah SAW berkata, “Apakah kamu masih memiliki ibu?” “Ya.” Rasulullah SAW berkata, “Berbuat baiklah kepadanya karena surga berada di kedua telapak kaki ibu.” (HR An – Nasai). (1)

Dalam sebuah hadis yang lain disebutkan jua bahwa dalam urgensi penting seperti hijrah sekalipun, restu orangtua harus dimiliki menyertai amal itu.

Dari ‘Abdullah ibnu ‘Umar, seorang laku-laki mendatangi Nabi SAW kemudian berkata kepada beliau, “Saat aku berbait kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan sedang menangis.” Rasulullah SAW berkata, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan perlakukanlah mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (HR An – Nasai). (1)

Rasulullah telah meletakkan bagaimana sebuah persamaan yang sangat luar biasa indahnya, bagaimana hubungan mengesakan Allah swt (tauhid) sebanding dengan bagaimana kita berbakti pada kedua orang tua (birrul walidayn).

Dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah SAW bersabda, “RIdho Allah terletak pada ridho kedua orang tua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orang tua,” (H. R. Al-Hakim) (2)

Oleh karena itu sertakanlah restu beliau dalam keputusan kita karena sungguh nasehat beliau lewat kata maupun ucapannya itu tulus karena cinta murni dan karena untaian katanya merupakan doa.

Fenomena yang acap kali terdengar di kalangan masyarakat mengenai kawin lari karena pasangan yang akan dinikahinya tak direstui orang tua. Nah bagaimana keluarga itu bisa diredhoi Allah dan Rasulnya jika kedua ibu dan bapaknya saja tak merestui. Berbakti kepada orang tua adalah sebuah pilar untuk membangun peradapan yang besar. Karena keluarga merupakan komponen terkecil dari sebuah bangsa, jika setiap komponen keluarga rusak, otomatis rusaklah bangsa itu.

Tentu kewajiban kita menurut orang tua kita adalah sepanjang jalur rel islami. Jika sudah keluar dari apa-apa yang tercamtum dalam Al-Quran dan hadist, kita tak harus mematuhi beliau. Namun untuk menolak, hendaklah dalam perkataan yang sopan santun. Meski betolak belakang pemikiran kita dengan orang tua, janganlah berbicara keras apalagi kasar.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”  dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. Al-Israa’(17):23)

 Meskipun seorang muslim memeliki kedua orang tua yang masih kafir, ia hendaklah  berbuat baik kepada mereka. Tentu saja menaatinya selama masih dalam koridor apa-apa yang ditetapkan dalam Islam.

Dari Asma’ binti Abu Bakar disebutkan, “Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan musyrik dengan jaminan kaum Quraisy saat Rasulullah SAW membuat penjanjian dengan mereka. Kemudian aku meminta nasehat kepada Rasulullah: Aku berkata, “Ibuku telah datang kepadaku sedangkan ia betul-betul menginginkan aku dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung silaturrahmi dengan ibuku?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturrahmi dengan ibumu.” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).(2)

Sumber Inspirasi:

(1) Adhim, Muhammad Fauzil. 2004. Membuka Jalan ke Surga; Menyempurnakan Nikmat Menuju Hidup Penuh Rahmat. Bekasi: Pustaka Inti.

(2) Sandhiyudha, Arya AS. 2009. Aku Anak Emas Ibuku; “Hadiah” bagi Ibu Pertiwi. Jakarta: Rumah Semesta.

(3) Sang Murabbi; mencari spirit yang hilang (film). 2008. Majelis Budaya Rakyat.

Diterbitkan oleh zularifinkamil

menyelesaikan Sarjana Sains Jurusan Kimia dari Universitas Andalas. Berkutat dengan segala macam alat labor. Pengemar berat anime dan manga.

2 tanggapan untuk “Sang Murabbi – dalam mengali makna cinta pada orang tua

Tinggalkan komentar